a.
PENGERTIAN
Secara etimologi death berasal dari kata deeth
atau deth yang berarti keadaan mati atau kematian. Sedangkan secara defenitif,
kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau
terhentinya kerja otak secara permanen. Ini dapat dilihat dari tiga sudut
pandang tentang defenisi kematian yakni,
1.
Kematian jaringan, kematian otak
2.
Kerusakan otak yang tidak dapat pulih, dan
3.
Kematian klinik, yakni kematian orang tersebut
Pandangan tentang kematian seiring waktu,
pandangn masyarakat tentang kematian telah mengalami perubahan. Dahulu kematian
cenderung dianggap sebagai hal yang menakutkan dan tabu. Kini,kematian telah
dipandang sebagai hal yang wajar dan merupakan proses normal kehidupan.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang
sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat
berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan duka cita.
Berduka (kematian) adalah
suatu keadaan dimana seseorang atau keluarga mengalami respon manusiawi yang
melibatakan reaksi psikososial dan fisiologis terhadap kehilangan yang nyata
atau di rasakan (orang,benda,fungsi,ststus dan hubungan). (Diagnosa Keperawatan
edisi 6, hal.428). Berduka (kematian) adalah Respons emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak
nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Kematian oleh ulama
sementara didefinisikan sebagai ketiadaan hidup atau anonim dari hidup. Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum
kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya, sedang
kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kehidupan pertama dialami olehmanusia pada saat manusia menarik dan
menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzah, atau kelak
ketika ia hidup kekal di hari akhirat.
b.
KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang
kematian bukan suatu yang menyenangkan. Namun manusia bahkan ingin hidup
seribu tahun lagi. Al-Quran melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup
selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96).
"Dan sungguh kamu akan mendapati
mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih
loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi
umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan
menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (Al Baqarah :96)
PANDANGAN AGAMA ISLAM TENTANG MAKNA KEMATIAN
Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan
bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan
panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan
dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan
yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat
pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah
mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya.
Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk
berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, misalnya bersabda, “Perbanyaklah
mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).” Dapat dikatakan bahwa
inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah
kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik
bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak)
tidak akan dianiaya sedikitpun" (QS Al-Nisa’ [14]: 77)
Kemudian Allah akan berikan kepada
kita kebaikan yg besar di kehidupan yg panjang yaitu kehidupan akhirat.
Kematian adalah pasti. Alangkah bodohnya kalau kita lbh mementingkan kesenangan
sesaat dgn melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya
manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian
menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa
kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa
dimajukan dan dimundurkan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ
لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki ajal ; maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
dapat pula memajukannya" (al-A’raaf: 34)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ
فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yg mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai
mati kecuali dalam keadaan muslim"
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan,
tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat
diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam
telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas.
Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali
apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan). Dalam
surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya : “Allah mewafatkan jiwa pada
saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah
yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang
lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu.”
Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai
salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju
perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding
dengan kehidupan dunia.
Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai
musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini
lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang
ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi
orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa
membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.
Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks
menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Nikmat yang diakibatkan oleh
kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan
duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang
terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa
mengalami kematian.
Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali
bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk
dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat
terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian
jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal
saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
“Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh
kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan
hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan
sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2)
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam
bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk
meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu
gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.